6/03/2012

Sekilas tentang hati dalam Islam

Sekilas tentang hati dalam Islam - Secara fisik, hati adalah segumpal daging yang berbentuk bundar memanjang, terletak pada tepi kiri dada. Di dalamnya terdapat lubang-lubang yang terisi darah hitam. Ia merupakan sumber dan tambang nyawa. Sedangkan secara psikis, hati adalah sesuatu yang halus, yang berasal dari alam ketuhanan. Dialah yang merasa, mengetahui, dan mengenal segala hal, serta diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya.

Hati sangat berperan dalam kehidupan manusia setiap saat, baik secara fisik, maupun psikis. Hati memiliki fungsi utama yang menggerakkan, dan mengarahkan kehidupan seseorang. Secara fisik, hati berfungsi sebagai penyimpanan energi; pembentukan protein asam empedu; pengaturan metabolisme kolesterol; dan penetralan racun dalam tubuh. Sementara dilihat dari psikisnya, hati berfungsi layaknya panca indera, yaitu perasa, pelihat, pendengar dan peraba.

Hati adalah pokok daro segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Sebagaimana sabda Nabi SAW Nu'man ibn Basyir RA berkata:

"Aku mendengar--sambil memegang kedua belah telinganya--Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itu pun jelas, meskipun di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh sebab itu, barangsiapa menjaga dirinya dari perkara syubhat, berarti dia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar kawasan larangan, maka kemungkinan besar binatangnya akan memasuki kawasan tersebut. Ingatlah! Sesungguhnya daerah yang terlarang milik Allah adalah apa saja yang diharamkan-Nya. Ingatlah! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya, tidak lain dan tidak bukan itulah yang dikatakan hati." (HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmizi, An-Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majjah, Ibnu Hanbal, dan Ad-darimi)

Hati memiliki kemampuan membedakan antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram, bahkan sesuatu yang berada pada keduanya, yaitu syubhat (tidak jelas). Namun, hati harus ditata. Ia adalah potensi dasar manusia yang mengandung dua kecenderungan, yaitu baik dan buruk. Jika ia cenderung baik, maka seseorang akan baik, begitu juga sebaliknya. Untuk membuatnya cenderung pada kebaikan, maka seseorang harus benar-benar mampu mengarahkannya.

Latihan yang cukup untuk membuatnya peka pada perbuatan terpuji, adalah sebagian dari langkah yang diajarkan dalam Islam. Latihan itu disebut riyadhah. Riyadhah sendiri artinya suatu proses internalisasi kejiawaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek.

Dalam riyadhah, seseorang harus benar-benar sungguh-sungguh. Upaya sungguh-sungguh ini disebut mujahadah. Setiap ulama, guru, ustadz, mursyid (dalam istilah tasawuf), bisa bermacam-maacam dalam memberikan materi riyadhah kepada anak didiknya. Salah satunya bisa dengan berpuasa. Melalui berpuasa, diharapkan dapat melatih ketajaman dati seseorang. Biasanya, perut lapar akan membuat hati menjadi lebih peka, dari pada perut kenyang. Lalu mujahadah, berperang melawan kehendak hawa nafsu yang mengarahkan pada perbuatan tidak terpuji secara sungguh-sungguh.

Itulah sebabnya manusia diberikan pilihaan dalam mengelola hatinya sendiri. Pilihan itu terletak antara mensucikan hatinya, atau justru mengotorinya. Sebab, di samping hati terdapat nafsu, dan nafsu itulah yang mengendalikan sikap dan perbuatan.

Nafsu dalam kajian Islam memiliki dua arti, yaitu:

Pertama, nafsu adalah kekuatan hawa (keinginan rendah) yang terdiri dari amarah, syahwat (keinginan biologis) dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia, dan merupakan sumber bagi timbulnya akhlak baik yang terpuji maupun tercela.

Kedua, jiwa yang bersifat lathif, ruhani, dan rabbani, dimana ia merupakan hakikat manusia yang membedakannya dengan hewan dan makhluk lainnya.

Nafsu dalam pengertian pertama bermakna bahwa apa yang diinginkan oleh nafsu itu akan membentuk perilaku seseorang. Ketika ia marah, maka perilakunya seperti halnya binatang buas yang hendak menerkam mangsanya; ketika ada hasrat untuk memenuhi syahwatnya, maka perilakunya seperti anak kecil yang tak pernah dewasa; dan ketika perutnya ingin diisi, maka segenap kemampuannya dikerahkan untuk mengisi perutnya itu. Oleh karenanya, seseorang senantiasa bergerak dan berupaya untuk memenuhi keinginan nafsunya, maka muncullah perilaku yang diakibatkan oleh dorongan nafsu tersebut.

Sedangkan untuk pengertian kedua, nafsu dapat berubah-ubah menjadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), jernih dan terang ketika mengingat Allah. Sebelum mencapai tingkat muthmainnah, nafsu akan melewati tingkat lawwamah, dimana ia akan menyesali segala perbuatannya yang salah.

Namun ia belum mampu menghilangkan kesalahan itu. Ia sebatas mengetahui dan menyesalinya, seperti yang dinyatakan Allah SWT.

"...Aku (Allah) bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)

Untuk menuju ke hati yang muthmainnah itu dibutuhkan tekad dan mujahadah agar sampai pada tujuan pembersihan hati. Hati yang bersihlah yang dapat mengendalikan hawa nafsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar