11/20/2011

Persiapan terhadap bencana

GEMPA besar 9.0 Mw (magnitudo momen) yang melanda Jepang pada Jumat 11 Maret 2011 lalu, kembali membuka mata untuk melihat kesiapan kita, warga Kota Padang khususnya, dalam menghadapi bencana yang sama beberapa waktu ke depan. Sejauh ini, terutama pasca gempa besar Aceh-Andaman 26 Desember 2004 silam, sebuah pembelajaran yang paling utama yang didapat ketika gempa datang (bahkan sekadar isu bakal terjadinya gempa-tsunami) hanyalah lari dan berlari. Bagaimana dengan kesiapan infrastruktur?

Cobalah kita melihat ke belakang sejenak. Pasca gempa Aceh-Andaman, ketika muncul isu akan ada gempa di Padang menjelang pergantian tahun 2004 ke 2005, warga kota sudah begitu panik dan menjauh dari pantai. Lalu pada 28 Maret 2005 tatkala Nias dihajar gempa 8,5 SR di malam hari, sebagian warga ada juga yang lari ke daerah ketinggian. Puncaknya saat 10 April 2005, ketika gempa 6,9 SR menghajar Kota Padang menjelang sore. Semuanya berhamburan. Panik.

Lalu kepanikan nyata, juga terlihat saat gempa 6,5 SR pada 6 Maret 2007 yang berpusat di daratan yang meluluhlantakkan sebagian daerah Solok, Tanah Datar, Payakumbuh, Bukittinggi, Padang Panjang, dan Padang. Di 2007 ini juga, kenangan kita takkan pernah lupa tatkala ritual balimau jelang memasuki Ramadhan 1428 H yang bertepatan dengan 12 September 2007 datangnya gempa berkekuatan 7,9 SR yang dilanjutkan pagi harinya (13-9-2007) dengan kekuatan 7,7 SR yang membuat sejumlah showroom otomotif dan berbagai gedung roboh.



Yang paling kita kenang, kejadian 2 tahun setelah itu, tepatnya tanggal 30 September 2009 yang dikenal dengan Gempa 30 S (G 30 S) dengan kekuatan 7,9 SR yang memakan banyak korban jiwa di Padang dan Padang Pariaman. 


Paniknyanaudzubillah min dzaliik… Bahkan hingga sekarang proses rehabilitasi dan rekonstruksinya masih meninggalkan banyak masalah. Terakhir, dari rentetan bencana lokal Sumbar itu adalah gempa 7,2 SR di Mentawai yang memicu tsunami di wilayah itu pada 25 Oktober 2010 baru lalu.

Dari untaian kejadian bencana yang dipaparkan tadi, syukurnya Kota Padang masih dilindungi oleh Allah SWT dari godaan, eh dari terjangan tsunami yang selama ini kita takuti. Tapi banyak pihak, terutama para ahli sudah memprediksi akan tiba masanya tsunami itu akan tiba juga, walaupun kepastian waktunya tak ada satu pun yang tahu kecuali Yang Maha Tahu, Illahi Rabbi. Bisa saja dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, beberapa tahun ke depan. No body knows. Tapi, –kembali ke pertanyaan semula– sudah siapkah infrastruktur kita sebagai bagian dari mitigasi bencana tsunami itu?

Seharusnya sudah siap, jika saja pemerintah pusat terutama daerah, menjadikan gempa akbar Aceh-Andaman sebagai titik awal untuk mulai menyiapkan infrastruktur itu. Yang terjadi apa? Belum sesuai dengan yang kita harapkan. Padahal jauh-jauh hari, kita sudah diberi ingat oleh para ahli. Kapan ahli memberi tahu?

Ingat.., ingat-ingatlah lagi bahwa di Kota Padang sendiri telah dilaksanakan Konfrensi Internasional Kegempaan pada 24-28 Agustus 2005. Di akhir konfrensi itu (28 Agustus-red) telah dicetuskanDeclaration of Participants in The International Confrence on The Sumatran Earthquake Challenge(Deklarasi Konfrensi Internasional Ancaman Gempabumi Sumatera) yang memberi ingat dan rekomendasi kepada kita untuk mengambil langkah cepat mengantisipasi kehadiran gelombang besar yang bakal meluluhlantakkan negeri elok dan rancak ini.

Peserta International Meeting on The Sumatran Earthquake Challenge itu telah mengingatkan bahwa “preliminary calculations suggest that hundreds of thousands of people would be severely affected by a future giant earthquake and tsunami in West Sumatra and Bengkulu provinces” (perhitungan-perhitungan dini menyatakan bahwa ratusan ribu jiwa penduduk berada dalam ancaman gempabumi raksasa dan tsunami pada masa yang akan datang di Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu). Kata mereka, bukti-bukti ilmiah secara meyakinkan menunjukkan bahwa peristiwa tersebut di masa datang sungguh akan terjadi dalam masa seumur hidup generasi muda hari ini. Mengingat gempabumi besar yang telah terjadi dengan siklus pengulangan setiap kisaran periode 2 abad dan peristiwa yang terakhir terjadi pada 178 tahun dan 214 tahun lalu, yaitu gempabumi besar yang pernah melanda Kepulauan Mentawai, sisi pantai barat Sumbar dan Bengkulu pada tahun 1797 dan 1833.


It is very unlikely that any valid prediction will be more specific than this, but we are hopeful that in the long term there will be improvements in forecasting the timing and nature of future large arthquake” (Sangat tidak mungkin ada prediksi lain yang lebih baik yang diakui dan lebih spesifik dibanding prediksi ini. Tapi kita sangat berharap untuk jangka panjang, bahwa di masa datang akan ada peningkatan kemampuan dan perhitungan perkiraan/prediksi waktu dan perilaku gempabumi besar yang akan terjadi masa depan).

Secara spesifik, prediksi mereka bagaimana? Kata guru sekaligus sahabat saya, Ade Edward yang menjabat Ketua IAGI Sumbar dan terlibat aktif dalam konfrensi itu, pengukuran-pengukuran secara ilmiah menunjukkan bahwa akumulasi/penumpukan tegangan yang berlangsung saat ini akan memuncak ketika gempabumi besar Sumbar terjadi. Ketika itu terjadi, Kepulauan Mentawai akan mengalami peristiwa yang sama yang dialami Pulau Nias dan Pulau Simeulue. Kepulauan Mentawai akan naik setinggi 1 meter atau lebih, daratan pesisir pantai Sumbar dan Bengkulu akan turun sedalam lebih kurang 1,5 meter. Peristiwa tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan permanen posisi garis pantai yang dapat merusak infrastruktur, dan berdampak buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.Nah, lho…


Dan mereka pun mengingatkan, “it is important that Sumatrans not neglect the risks posed by their other great fault, The Sumatran Fault, which runs through the mountains, from Semangko Bay to Banda Aceh” (Adalah penting bahwa masyarakat Sumatera jangan mengabaikan resiko yang ditimbulkan oleh patahan besar lainnya, yaitu Sesar Sumatera (Patahan Semangko-red), yang melintas sepanjang jalur pegunungan (Bukit Barisan-red) mulai dari Teluk Semangko sampai ke Banda Aceh.

Sebagian dari isi deklarasi ini sudah terbukti dengan terjadinya gempa-gempa besar di tahun 2007 dan 2009 lalu yang telah sama-sama kita rasakan hentakan dan guncangannya serta dampaknya. Tinggal lagi kekhawatiran pada “letupan” yang belum dimunculkan pada megathrust Siberut seperti yang kerap diekspos ahli gempa dari LIPI Danny Hilman Natawijaya yang bersama Kerry Sieh bekerja di bawah naungan Caltech yang “memeriksa” dan menghabiskan hari-hari penelitiannya di Kepulauan Mentawai.

Kembali lagi ke pertanyaan awal, sudah siapkah infrastruktur kita? Wallahu alam…


Untuk infrastruktur ini, yang banyak diapungkan oleh berbagai kalangan adalah membangun dinding laut (seawall), pembangunan shelter dan memperbanyak jalur evakuasi. Di luar itu masih ada infrastruktur berupa Tsunami Early Warning System (TEWS), kesiapan SDM untuk mitigasi, dan banyak lagi yang para ahlinya tentu lebih tahu dari saya.

Opsi membangun seawall, malah sudah menjadi gerakan di facebook dengan berbagai nama. Ada yang menamakan diri sebagai Gerakan Facebookers Mendesak Pemerintah Membangun Dinding Laut Kota Padang, ada Forum Dinding Laut, ada pula Dukungan untuk Gerakan Masyarakat Sumbar Membangun Shelter dan Dinding Laut. Mungkinkah dinding laut dibangun? Bahkan, sebuah media lokal menjadikan ini sebagai headline pada penerbitan 19 November 2010 dengan judul provokatif “Dinding Saja Laut Padang”.

Saya pribadi, jauh-jauh hari, kalau tidak salah tahun 2005, sudah diberi bundelan ide dalam bentuk makalah oleh mantan dosen saya di Fisip Unand, Emeraldy Chatra yang mengapungkan betapa perlunya segera dibangun dinding laut ini. Emeraldy juga yang hingga kini tetap lantang bersuara melalui facebook untuk terus memperjuangkan ide yang contohnya menjadikan seawall Jepang sebagai pembanding.

Bisakah dinding laut dibangun? Bisa. Biayanya –kata koran lokal itu– setara dengan jembatan Suramadu Rp 4,2 triliun saja! Tapi adakah dana untuk itu? Adakah politicall will ke arah itu? Hingga tulisan ini ditulis, jawabannnya ENTAHLAH!!! Kalaupun ada dana dan keinginan politik untuk itu, bisakahseawall ini berdiri dalam waktu yang cepat? Sekali lagi, entahlah!!! Karena sebagai pembanding –seperti dipaparkan koran itu juga– seawall terpanjang di Korea Selatan sepanjang 33,9 km yang menelan biaya 2,9 triliun won (Rp 23,4 triliun) dibangun hampir dua dekade. Sangat butuh waktu lama. Sementara kita tahu, filosofi bencana bisa terjadi kapan saja, dalam artian bisa saja tiba disaat seawall ini masih sekadar wacana, atau sedang ditenderkan, atau telah mulai dikerjakan, dan alhamdulillah kalau sudah rampung berdiri tegak sehingga berdayaguna sebagaimana diharapkan.

13165836221769507939Efektifkah? Tsunami Jepang telah memberi pelajaran, terjangan air laut bisa melompati dinding itu dan meluluhlantakkan yang ada di depannya. Siapa yang bisa menyangka ketinggian tsunami tidak lebih tinggi dari dinding yang akan dibangun? Di Sendai Jepang, seperti dikatakan ahli gempa Rovicky melalui blog “dongeng geologi”-nya, tsunaminya berketinggian 10 meter berenergi setara 550 kiloton TNT. Tsunami Aceh-Andaman malah mencapai 34 meter di Lhoknga, Aceh dengan energi setara 5 megaton TNT. Katanya, “Satu kiloton TNT adalah energi yang dilepaskan ketika 1.000 ton bahan peledak TNT (yang biasanya digunakan dalam dinamit) diledakkan secara simultan. Sebagai acuan umumnya digunakan bom nuklir Hiroshima, yang energi ledakannya setara dengan 20 kiloton TNT.”

So, seberapa tinggi dinding laut yang akan (lebih tepatnya ingin) dibangun itu? Sekali lagi; ENTAHLAH!!

Kita tinggalkan dulu seawall, mari kita bicara soalshelter. Ada wacana walikota Padang untuk membangun banyak shelter. Shelter yang dimaksud adalah gedung tinggi yang bagian atasnya menjadi areal evakuasi untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Contoh bangunannya (yang sudah dibangun) adalah SMA 1 Padang “versi baru” yang dibangun di kawasan Belanti-Lolong berkat sumbangan Buddha Tsu Chi. Baru saja wacana ini dilontarkan, sudah muncul tanggapan di facebook (harap maklum, saya emang doyan wara-wiri di facebook) bahwa ide ini sangat tidak mungkin lantaran kondisi tanah Kota Padang yang labil tidak memungkinkan untuk membangun gedung terlalu tinggi. Saya tidak tahu persis, apakah tanahnya jenis aluvial, tanah endapan muda, atau tanah hantu blau, karena saya memang bukan ahli tanah, apalagi makelar tanah.

Dari dua infrastruktur itu, seawall dan shelter, yang paling mungkin hanyalah memperbanyak dan memperlebar jalur evakuasi, seperti ditulis di status-status FB yang menjadi jejaring saya. Alasan logisnya, disaat tidak terjadi bencana alias belum datang, jalan evakuasi itu mendukung bergeraknya sektor ekonomi yang memperlancar arus transportasi. Terserahlah analisis mereka ini (tapi saya pikir ada betulnya juga). Tapi faktanya, jalur evakuasi Alai-By Pass entah sampai di mana kelanjutannya (info terakhir sudah sedikit rampung). Itu baru satu jalur lho, belum jalur-jalur lain yang masih dalam perencanaan. Yang sudah lama direncanakan saja, masih begini-begitu, bagaimana pula dengan rencana yang belum diapa-apain.

Nah, itu baru kupasan soal tiga infrastruktur yang bisa saya paparkan. Belum lagi soal infrastruktur lain semacam TEWS (yang info terakhirnya tengah dibengkelkan), kesiapan SDM mitigasi (baik itu mental maupun skill-nya), ataupun sarana-prasarana lainnya.

Belajar dari Jepang yang dianggap paling maju kesiapannya menghadapi gempa-tsunami, benarkah kita benar-benar sudah siap menghadapi bencana serupa? Jangan berani mengklaim bahwa Sumbar sebagai daerah yang paling siap menghadapinya dibanding daerah lain di Indonesia. Please deh,jangan berani mengklaim. Kalau berani, itu takabur namanya!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar